Komunikasi Antar Budaya 2

MODUL  1  KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
SEBAGAI FENOMENA SOSIAL

A.   PENGANTAR

Manusia tidak mungkin tidak melakukan komunikasi
sekalipun dalam keadaan bisu (tuna wicara). Karena komunikasi sesungguhnya tidak saja dipahami sebagai penyampaian pesan melalui bahasa (verbal), tetapi komunikasi adalah penyampaian pesan melalui lambang-lambang yang dapat dipahami oleh kedua belah pihak(komunikator-komunikan), apapun bentuklambang tersebut.

         
Kemajuan yang luar biasa dibidang teknologi komunikasi telah menyebabkan dunia ini terasa sempit. Betapa tidak, untuk mengunjungi negeri-negeri yang jauh atau tempat-tempat wisata mancanegara tidak lagi harus datang secara fisik, cukup menyaksikannya melalui layar televisi atau internet. Untuk mengetahui berbagai kebudayaan antarnegara tidak harus datang langsung ke tempat kebudayaan itu berasal, cukup menyimaknya melalui “layar datar Thosiba berukuran 29 inchi”. Akselerasi teknologi seolah tak tertahankan lagi. Naisbit (1988:102) menjelaskan fenomena ini sebagai berikut: “Thanks to a thriving world economy, global telecommunication and expending travel, exchanges among Europe, North America, and the Pacific Rim are accelerating fast”.
Diawal pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) beberapa kali melakukan telewicara dengan masyarakat dibeberapa propinsi dalam waktu yang bersamaan.  Yudhoyono sepertinya memahami betul bahwa tidak mungkin dapat mengunjungi seluruh pelosok Indonesia yang terdiri dari puluhan ribu pulau, maka melakukan telewicara atau teleconference adalah pilihan yang tepat  Fenomena inilah yang disebut McLuhan sebagai global village, dimana ciri utamanya disandarkan kepada:
Adanya keinginan akan keseragaman yang meningkat.
Adanya keinginan akan pengalaman yang sama.
Meningkatnya pengaruh media elektronik, seperti: televisi, satelit komunikasi, antena parabola dan sebagainya (Rumondor, 2001).
Kemajuan yang dicapai “anak-anak” kelahiran abad 19 ini tidak saja terbatas pada teknologi komunikasi, tetapi juga tercermin pada sarana transportasi (darat, udara dan laut). Dengan kemajuan ini orang-orang mampu melakukan komunikasi secara langsung (antarpribadi) di tempat-tempat yang sebelumnya tak pernah di duga. Misalnya, orang-orang yang berbeda negara, warna kulit, bahasa, dan kebangsaan dapat bertemu di Bali ketika melakukan wisata. Atau orang-orang yang berbeda identitas sosial pun dapat bertemu dan berkomunikasi dalam konteks perdagangan dunia, baik di negerinya sendiri maupun di luar negeri. Tanpa disadari, pelan namun pasti telah terjadi kontak (komunikasi) yang di dalamnya melibatkan orang-orang yang mungkin  sekali berlainan cara berpikir, cara berperilaku dan kebiasaannya. Bahkan perbedaan antara orang-orang yang berkomunikasi tersebut tidak saja menyangkut nilai-nilai budaya saja, tetapi juga aspek-aspek sosial, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seterusnya.
Perbedaan budaya tidak menjadi halangan untuk satu sama lain menjalin hubungan (relationship), yang terpenting adalah saling memahami (understanding), saling beradaptasi (adaptation) dan saling bertoleransi (tolerance). Kunci utama dari pergaulan antarbudaya adalah tidak menilai orang lain yang berbeda budaya dengan menggunakan penilaian budaya kita. Biarkan semua berjalan dengan latar belakang budaya masing-masing. Justeru perbedaan budaya adalah ladang untuk siapapun  belajar budaya orang lain dengan arif dan bijak (wise).

B.   KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA SEBAGAI FENOMENA SOSIAL
Secara dasariah manusia memiliki kebutuhan (needs). Untuk memenuhi kebutuhan tersebut manusia melakukan interaksi sosial, dan interaksi sosial pada hakekatnya adalah melakukan komunikasi. Kebutuhan akan komunikasi sama halnya dengan kebutuhan kita akan bernafas. Dengan demikian komunikasi adalah fakta sosial dan sekaligus sebagai femomena sosial yang tak terhindarkan.
Mengenai komunikasi sebagai fakta dan fenomena sosual ini diperkuat oleh Tubbs (1996:239), demikian:
Dengan adanya inovasi teknologi dalam dua decade terakhir ini, tulis Gergen, “kehidupan kontemporer merupakan lautan hubungan sosial yang melingkar-lingkar”. Di lautan itu kita harus melakukan hubungan antarbudaya yang semakin banyak. Peningkatan komunikasi antarbudaya telah berlangsung dengan berkembangnya jaringan penerbangan dan jaringan komunikasi elektronik.

Dalam konteks hubungan (relasional), kita sepakat setiap orang membutuhkan komunikasi. Sekurang-kurangnya komunikasi tersebut dilakukan dalam:
1.   Orang berbicara tentang relasi mereka dalam pekerjaan, bagaimana mereka terlibat, bagaimana kebutuhan untuk menyatakan tenaganya;
2.   Orang bicara tentang komitmen yang berkaitan dengan relasi. Komitmen merupakan kondisi awal dari sebuah relasi;
3.   Orang berbicara relasi sebagai keterlibatan, terlibat bersama secara kuantitatif maupun kulaitatif dalam percakapan, dialog, membagi pengalaman;
4.   Orang bicara tentang relasi dalam istilah manipulasi, misalnya bagaimana saling mengawasi;
5.   Orang bicara tentang relasi dalam istilah untuk mempertimbangkan dan memperhatikan (Liliweri, 2003:6).
Dari sini akan muncul saling ketergantungan yang melahirkan sebuah komunitas bersama. Komunitas bersama meniscayakan adanya berbagai kemungkinan untuk saling tidak sependapat, dalam arti berbeda budaya, ideologi, gaya hidup, orientasai dan sebagainya. Berbagai problema segera akan mengemuka dan salah satunya akan menjadi persoalan komunikasi dalam konteks antarbudaya.
Tidak perlu bertanya, mengapa manusia diciptakan tidak sama dan serupa, termasuk budayanya ? Perbedaan budaya pada dasarnya adalah desain Tuhan dengan maksud untuk saling mengenal satu sama lain:

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal (QS. Hujuraat/49:13).
         
Firman di atas secara tersurat memberikan pemahaman bahwa manusia perlu menjalin pergaulan meskipun berbeda suku dan bangsa. Hikma dari itu semua adalah saling kenal mengenal. Dengan cara demikian, manusia bisa saling melengkapi, saling berbagai, saling menjaga untuk menciptakan kesejahteraan.
Perbedaan budaya dalam pergaulan menuntut setiap individu untuk saling memahami dan menyadari. Secara teoretis, kemampuan akan komunikasi antarbudaya menjadi bagian penting. Litvin merinci sekurang-kurangnya 12 alasan mengenai pentingnya mempelajari komunikasi antarbudaya, yaitu:
1.   Dunia sedang menyusut dan kapasitas untuk memahami keanekaragaman budaya sangat diperlukan.
2.   Semua budaya berfungsi dan penting bagi pengalaman anggota-anggota budaya tersebut meskipun nilai-nilai berbeda.
3.   Nilai-nilai setiap masyarakat se”baik” nilai-nilai masyarakat lainnya.
4.   Setiap individu dan/atau budaya berhak menggunakan nilai-nilanya sndiri.
5.   Perbedaan-perbedaan individu itu penting, namun ada asumsi-asumsi dan pola-pola budaya mendasar yang berlaku.
6.   Pemahaman atas nilai-nilai budaya sendiri merupakan prasyarat untuk mengidentifikasi dan memahami nilai-nilai budaya lain.
7.   Dengan mengatasi hambatan-hambatan budaya untuk berhubungan dengan orang lain kita memperoleh pemahaman dan penghargaan bagi kebutuhan, aspirasi, perasaan dan masalah manusia.
8.   Pemahaman atas orang lain secara lintas budaya dan antarpribadi adalah suatu usaha yang memerluka kebranian dan kepekaan. Semakin mengancam pandangan dunia orang itu bagi pandangan dunia kita, semakin banyak yang harus kita pelajari dari dia, tetapi semain berbahaya untuk memahaminya.
9.   Pengalaman-pengalaman antarbudaya dapat menyenangkan dan menumbuhkan kepribadian.
10.   Keterampilan-keterampilan komunikasi yang diperoleh memudahkan perpindahan seseorang dari pandangan yang monokultural terhadap interaksi manusia ke pandangan multikultural.
11.   Perbedaan-perbedaan budaya menandakan kebutuhan akan penerimaan dalam komunikasi, namun perbedaan-perbedaan tersebut secara arbitrer tidaklah menyusahan atau memudahkan.
12.   Situasi-situasi komunikasi antarbudaya tidaklah static an bukan pula stereotip. Karena itu, seorang komunikator tidak dapat dilatih untuk mengatasi situasi. Ia harus disiapkan untuk menghadapi suatu situasi eksistensial. Dalam konteks ini kepekaan, pengetahuan dan keterampilannya bisa membuatnya siap untuk berperan serta dalam menciptakan lingkungan yang efektif dan saling memuaskan (Mulyana, ed.,  2001:xi).

Melengkapi diri dengan kemampuan komunikasi antarbudaya tidak sekedar untuk tujuan pragmatis pergaulan, tetapi lebih dari itu memiliki tujuan tertentu yang bersifat kognitif dan afektif.  Litvin (dalam Mulyana, ed., 2001:xi) merinci tujuan tersebut adalah:
Menyadari bias budaya.
Lebih peka secara budaya.
Memperoleh kapasitas untuk benar-benar terlibat dengan anggota dari budaya lain untuk menciptakan  hubungan yang langgeng dan memuaskan dengan orang tersebut.
Merangsang pemahaman yang lebih besar atas budaya sendiri.
Memperluas dan memperdalam pengalaman seseorang.
Mempelajari keterampilan komunikasi yang membuat seseorang mampu menerima gaya dan isi komunikasinya sendiri.
Membantu memahami budaya sebagai hal yang menghasilkan dan memelihara semesta wacana dan makna bagi para anggotanya.
Membantu memahami kontak antarbudaya sebagai suatu cara untuk memperoleh pandangan ke dalam budaya sendiri: asumsi-asumsi, nilai-nilai, kebebasan-kebebasan dan keterbatasan-keterbatasannya.
Membantu memahami model-model, konsep-konsep dan aplikasi-aplikasi bidang komunikasi antarbudaya.
10.   Membantu menyadari bahwa sistem-sistem nilai  yang berbeda dapat dipelajari secara sistematis, dibandingkan, dan dipahami.

C.   FAKTOR PEMICU KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
Suatu fenomena atau realitas tidak hadir dengan sendirinya, melainkan selalu melibatkan faktor pemicunya. Beberapa faktor pemicu yang melatarbelakangi komunikasi antarbudaya adalah:

1.   Aspek Kepentingan Domestik
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dapat dikatakan sebagai negara yang unik sekaligus fenomenal.  Bukan saja secara geografis dikatakan sebagai rangkaian “jamrud di khatulistiwa”, tetapi secara sosiologis terdiri dari beragam suku, etnik, bahasa, budaya, agama dan sebaginya. Indonesia “bak kembang setaman”, dimana perbedaan menjadi sesuatu yang indah.
Kebhinekaan ini membawa dampak terhadap berbagai hal,  mulai dari penataan sistem politik, ekonomi-perdagangan, sosial-budaya hingga memperkuat “tali” integrasi. Untuk mewujudkan keberagaman tersebut menjadi potensi yang konstruktif, dibutuhkan kemampuan komunikasi antarbudaya yang memadai, baik untuk menjalin hubungan informal antarindividu yang berbeda budaya, maupun hubungan formal antara pemerintah dengan rakyatnya dalam konteks birokrasi.
Hubungan informal (aspek ekonomi-perdagangan), misalnya dapat dilihat pada proses perdagangan yang melibatkan beberapa suku: Padang, Batak, Sunda, Jawa, Bali, Madura, dan sebagainya. Pada konteks ini akan melahirkan proses komunikasi antarpribadi dan  antarbudaya yang menuntut satu sama lain saling memahami (mutual understanding). Keberagaman dalam aspek ekonomi-perdagangan ini jelas sangat terlihat  dalam kehidupan kita sehari-hari.
Sejatinya, kebhinekaan yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia  dapat dilihat pada aspek-aspek berikut:
1.   Adanya kenyataan bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari sejumlah suku bangsa dengan latab belakang  kebudayaan, bahasa daerah, dialek, nilai-nilai dan falsafah pemikiran agama, kepercayaan dn sejarah yang berbeda.
2.   Adanya pergeseran sistem nilai dalam masyarakat sebagai akibat pembangunan disegala sektor kehidupan.
3.   Derasnya arus informasi dan komunikasi yang dibawa oleh media massa modern dan para wisatawan yang memperlancar kontak-kontak antarkebudayaan.
4.   Pertambahan penduduk yang menuntut peningkatan sarana dan prasarana umum baik dalam kualitas maupun kuantitas (Rumondor, 2001).

Dalam realitas seperti itu kesalahpahaman seringkali terjadi dan apabila dibiarkan tidak mustahil akan mengoyak sendi-sendi berbangsa dan bernegara. Pada konteks inilah komunikasi antarbudaya menjadi penting. Menurut Rumondor (2001), beberapa syarat yang diperlukan individu untuk melakukan komunikasi antarbudaya, yaitu:
a.    Adanya sikap menghormati anggota budaya lain sebagai manusia.
b.   Adaya sikap menghormati budaya lain sebagaimana adanya, dan bukan sebagaimana yang kita kehendaki.
c.    Adanya sikap menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak.
d.   Komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari budaya yang lain.

Hubungan formal (birokrasi) pun menampakkan fenomena yang sama, di mana pemerintah perlu memahami keragaman budaya untuk melayani masyarakatnya. Pemahaman komunikasi antarbudaya akan mampu menciptakan pelayanan unggul (excellent service), karena sesungguhnya pelayanan apapun berpijak pada proses komunikasi yang mampu menciptakan kebersamaan (communis) dan saling memahami.
Begitu pun pada aspek politik, kunci penting terletak pada kemampuan berkomunikasi. Perlakuan untuk setiap wilayah sangat mungkin memiliki spesifikasi terentu, misalnya untuk Propinsi Aceh dan Papua. Berbagai strategi dan kebijakan pembangunan, stabilitas, dan perekonomian perlu didukung oleh strategi komunikasi yang tepat.
Apalagi, pada saat buku ini ditulis kondisi politik dan stabilitas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini sedang diuji oleh munculnya sparatis di Sulawesi (kasus tarian Cakalele) dan di Papua (kasus pengibaran bendera Bintang Kejora pada acara Konfrensi Adat Papu). Penyelesaian sparatisme bukanlah persoalan yang mudah, disamping diperlukan penanganan yang komprehensif-integratif juga dibutuhkan pemahaman komunikasi antarbudaya.
         
2.   Aspek Kepentingan Internasional
Teknologi komunikasi dan transportasi telah menyatukan bangsa-bangsa  ke dalam “orde bangsa-bangsa global”. Era globalisasi tidak saja dipahami sebagai “berkah” dari kemajuan cara berpikir manusia, tetapi di dalamnya pun menyimpan sejumlah problematika yang mengharuskan keterlibatan antarbangsa dalam proses penyelesaiannya. Secara faktual, sampai saat ini masih terasa berbagai ketimpangan seperti ekonomni, politik, teknologi, bahkan ideologi antara bangsa-bangsa yang sudah maju dengan bangsa-bangsa berkembang (dunia ketiga).
Sejak dekade 70-an, ketimpangan yang terjadi bukan saja dipicu oleh ketimpangan ekonomi dan politik semata, tetapi sudah merambah ke masalah arus informasi dan komunikasi antarnegara maju dan berkembang. Negara-negara berkembang (terutama yang muslim) seringkali menjadi “proyek” komunikasi politik negera-negara maju yang cenderung destruktif. Misalnya, terminologi teorisme sudah menjadi “cap” komunikasi politik yang kurang menguntungkan bagi negara-negara yang berpenduduk muslim. Barat secara sengaja menggnakan teori penjulukan (labelling theory) untuk menyudutkan umat Islam
Rumondor (2001) secara eksplisit menyebut beberapa ketimpangan informasi dan komunikasi  ini seperti pada aspek:
1.   Perbedaan kemampuan ekonomi;
2.   Perbedaan kemajuan ilmu dan teknologi;
3.   Tidak adanya kesamaan hak dibidang informasi;
4.   Adanya dominasi negara maju terhadap media negara berkembang sejauh menyangkut aspirasi negara berkembang;
5.   Tidak adanya hubungan yang saling menguntungkan di bidang informasi dan komunikasi;
6.   Perbedaan sistem nilai.

Dengan memperhatikan berbagai masalah di atas, maka keterlibatan antarbangsa untk menyelesaikan berbagai masalah yang timbul tidak dapat lagi dihindarkan. Komunikasi mernjadi penting, dalam arti sebagai “jembatan” untuk menghubungkan ide, gagasan dan pemikiran antarnegara. Dan oleh karena itu komunikasi antarbudaya pun menjadi keharusan untuk dipelajari.
Pada konteks ini, komunikasi antarbudaya memiliki fungsi yang berkaitan dengan:
a.    Meningkatkan pengetahuan kita tentang diri kita sendiri dengan menjelaskan sebagian dari perilaku-perilaku komunikatif yang kita sadari.
b.   Menjelaskan kendala-kendala terhadap pemahaman atas proses lintas budaya yang selama ini hampir tak teratasi.

3.   Aspek Kepentingan Saling Kebergantungan Ekonomi
Saat ini kebanayakan negara secara ekonomi bergantung pada negara lain (negara maju/kaya). Negara-negara yang sedang berkebang membutuhkan dana banyak untuk mendanai pembangunan di negerinya, dan itu salah satunya bergantung kepada negara-negara yang memiliki modal. Misalnya, Indonesia bergantung kepada Jepang, Amerika, dan negara-negara donor lainnya. Kebergantungan ekonomi mengharuskan mengetahui pola pergaulan dengan negara-negara sahabat (pemilik modal) yang sudah barang tentu memiliki kultur (budaya) yang berbeda. Di sinilah komunikasi antarbudaya berperan sebagai sarana pergaulan internasional.

4.   Aspek Politik Internasional
Keadaan suatu kawasan tidak selamanya terkendali secara politik. Dalam keyataannya banyak negara dan banyak kawasan mengalami gejolak politik yang menyebabkan dunia menjadi penuh ketidakpastian. Misalnya, kawasan Timur Tengah yang senantiasa dihiasi konflik Palestina – Israel, kawasan Asia yang selalu dihantui perang saudara Korea Utara – Korea Selatan, dan sebagainya. Oleh karena itu politik internasional harus senantiasa dijaga kestabilannya dengan cara membangun dialog dan saling pengertian yang terus-menrus.
Suatu bangsa harus memahami persoalan bangsa lain, dan jika terdapat persoalan harus secepatnya diselesaikan untuk menjaga persahabatan yang tetap utuh. Saling memahami dan menciptakan dialog yang memungkinkan terjaganya persahabtan antarnegara diperlukan salaing memahami budaya antarnegara. Pada ranah inilah komunikasi antarbudaya menjadi penting.
Baik secara nasional (dalam negeri), regional (kawasan) dan internasional memerlukan pengetahuan komunikasi antarbudaya yang mendalam yang memungkinkan terciptanya kesalingpengertianan. Kepentingan ekonomi, sosial dan politik antarnegara serta kemajuan yang luar biasa dibidang teknologi komunikasi dan transportasi memaksa untuk saling memahami melalui unsur budaya dalam berkomunikasi.
Terdapat beberapa keuntungan yang bisa diperoleh dari studi komunikasi antarbudaya, antara lain:
1.   Perasaan senang dan puas dalam menentukan sesuatu yang baru, dalam hal ini kebudayaan orang lain yang belum pernah diketahui atau disadari sebelumnya.
2.   Pengetahuan tentang komunikasi antarbudaya dapat membantu untuk menghindari masalah-masalah komunikasi. Pemahaman mengenai faktor-faktor yang melatarbelakangi persepsi seseorang atau sekelompok orang dapat menjadi pedoman untuk memperlakukan mereka, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman.
3.   Kesempatan-kesempatan kerja banyak terbuka untuk bidang komunikasi antarbudaya. Kebanyakan lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta, profit maupun non-profit, dalam berbagai tingkat, memerlukan orang-orang yang mempunyai wawasan komunikasi antarbudaya. Misalnya, bidang pendidikan, penyuluhan, industri, perusahaan-perusahaan multinasional yang mengutamakan pelayanan jasa dan produk dengan lingkup internasional, dan lain-lain.
4.   Memberikan kesempatan untuk mampu mempersiapkan dan memahami diri sendiri. Dalam usaha mengerti kebudayaan orang lain, kita dapat memperoleh pengertian yang lebih baik dan rasional tentang kita sendiri dan kebudayaan kita sendiri (Rumondor, 2001).

D.  KOMUNIKASI ANTARBUDAYA SEBAGAI KAJIAN KEILMUAN
Setiap disiplin ilmu memungkian setiap saat tumbuh dan berkembang melalui berbagai macam kajian dan penelitian yang bersifat deduktif maupun induktif.  Peran para peneliti dan kaum akademisi berada di “garda terdepan”  yang akan melahirkan telaahan-telaahan kritis sebagai pijakan sebuah disiplin ilmu.
Salah satu bidang kajian yang cukup cepat perkembangannya adalah komunikasi. Pada mulanya, telaahan komunikasi  hanya sebatas pada penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain, namun dalam perkembangannya pesan (message) yang disampaikan lebih spesifik. Dari situlah muncul bidang komunikasi politik, di mana pesannya berdimensi politik (mempengaruhi orang lain), komunikasi kesehatan yang pesannya lebih menitikberatkan kepada pesan-pesan kesehatan, dan lain-lain. Dari “rahim” komunikasi ini pula lahir komunikasi antarbudaya, yaitu pertukaran pesan di antara orang-orang (komunikator – komunikan) yang berbeda (Effendy, 1994:8).
Sejak tahun 70-an, para pakar yang memiliki perhatian khusus kepada komunikasi antarbudaya memulai pencarian untuk mengkaji sebagai disiplin ilmu tersendiri. Secara esensial, keberadaan komunikasi antarbudaya memiliki kesetaraan dengan komunikasi politik, komunikasi antarpribadi, komunikasi massa, dan lain-lain. Dari segi kepustakaan, selama ini telah banyak dihasilkan ragam komunikasi antarbudaya dari berbnagai perspektif, misalnya dari perspektif pendidikan, antropologi, psikologi, bahasa, sosiologi, dan lain-lain. Berbagai kajian tersebut semakin memperkaya khazanah kepustakaan komunikasi antarbudaya.
Komunikasi antarbudaya dapat dianggap sebagai suatu bidang studi, karena secara teoretik-akademik telah memenuhi persyaratan-persyaratan dari suatu cabang ilmu pengetahuan, yaitu:
1.   Ada kepustakan yang cukup memadai bagi ilmuwan dan mahasiswa untuk digunakan sebagai pelajaran dan referensi.
2.    Ada pengertian teoretis yang luas sebagai landasan kuat bagi studi dalam bidang tersebut.
3.   Mempunyai lebih dari suatu cara pendekatan untuk penerapan teori tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
4.   Harus cukup luas ruang lingkupnya sehingga ilmuwan mempunyai keleluasaan untuk melakukan penelitian dan membangun teori.
5.   Harus memungkinkan untuk megajarkan keterampilan pada para praktisi yang biasanya tidak memperdulikan aspek-aspek teoretis dari program latihan mereka.
6.   Pada tingkat graduate (setingkat S 2), harus memberi peluang bagi mahasiswa untuk mengambil bidang spesialisasi dalam salah satu aspek dari bidang tersebut.
7.   Lulusan pendidikan tingginya harus dapat memperoleh pendidikan dan latihan.
8.   Kebutuhan untuk mempelajari bidang tersebut harus diakui oleh lembaga-lembaga pendidikan, organisasi-organisasi perusahaan, dan pemerintah (Rumondor, 2001).
Sementara Hammer (dalam Liliweri, 2003:14) , mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai salah satu kajian dalam ilmu komunikasi, karena:
1.   Secara teoretis memindahkan fokus dari suatu kebudayaan kepada kebudayaan yang dibandingkn.
2.   Membawa konsep aras makro kebudayaan ke aras mikro kebudayaan.
3.   Menghubungkan kebudayaan dengan proses komunikasi.
4.   Membawa perhatian kita kepada peranan kebudayaan yang mempengaruhi perilaku.

Studi-studi komunikasi antarbudaya semakin menemukan relevansinya karena dihadapkan oleh fakta keragaman budaya baik di dalam negeri maupun internasional. Berbagai konflik yang muncul tidak saja didasari oleh motif politik dan ekonomi, tetapi juga disebabkan oleh benturan budaya. Budaya memiliki nilai-nilai yang menjadi pegangan sekelompok masyarakat, dan hal itu akan menjadi krusial apabila nilai dianut sekelompok masyarakat berbenturan dengan nilai-nilai budaya kelompok lain. Misalnya, budaya Barat yang cenderung bebas (terutama dalam pergaulan) banyak berbenturan dengan budaya Timur yang lebih religius.
Berdasarkan paparan-paparan di atas, maka kajian mengenai komunikasi antarbudaya bukan saja menarik, tetapi sudah menjadi kebutuhan setiap individu dan kelompok maupun. Dalam ungkapan lain, kebutuhan akan disiplin komunikasi antarbudaya bukan hanya didasarkan pada kebutuhan pragmatis, melainkan pula kebutuhan akademis. 

Artikel Terkait

Previous
Next Post »