Menurut Debes, konsep diri bisa juga dinyatakan sebagai keseluruhan gambaran tentang diri kita. Maksud keseluruhan gambaran di sini mencakup diri psikologis, diri fisik, diri spiritual, diri sosial, dan diri intelektual. Dengan demikian, konsep diri merupakan persepsi kita pada bagian-bagian tadi untuk dipadukan dan membentuk keseluruhan gambaran. Penting diingat, konsep diri ini bukan pandangan orang lain pada kita melainkan pandangan kita sendiri atas diri kita.
Sedangkan William D. Brooks (dalam Rakhmat, 1985:125) menyebut konsep diri sebagai “persepsi-persepsi fisik, sosial, dan psikologis atas diri kita sendiri yang bersumber dari pengalaman dan interaksi kita dengan orang lain”. Berdasarkan definisi dari Brooks tersebut, kita bisa menguraikannya sebagai berikut.
1. Persepsi fisik, yang berkaitan dengan bagaimana kita mempersepsi diri kita secara fisik. Apakah kita ini termasuk orang yang tampan/cantik, biasa-biasa saja atau jelek? Apakah badan kita terlihat gagah atau tidak menarik?
2. Persepsi sosial, yang berkaitan dengan bagaimana pandangan orang lain tentang diri kita. Apakah kita ini termasuk orang yang mudah bergaul, cenderung menyendiri, disukai orang lain atau orang yang ingin menang sendiri.
3. Persepsi psikologis, yang berkaitan dengan apa yang ada pada “dalam” diri kita. Apakah saya ini orang yang keras pendirian atau keras kepala? Apakah saya termasuk orang yang berbahagia karena apa saya bahagia?
4. Pengalaman, yang terkait dengan sejarah hidup kita. Sejak mulai kita dilahirkan hingga usia saat ini tentu mengalami berbagai hal yang berpengaruh pada diri kita. Misalnya, kita menjadi keras kepala karena sering diperlakukan sebagai anak yang berada pada pihak yang kalah.
5. Interaksi dengan orang lain, yang terkait bagaimana lingkungan pergaulan kita akhirnya membentuk persepsi kita atas diri sendiri. Apa yang dialami Sumadi di atas menunjukkan bagaimana interaksi dengan orang lain akhirnya membentuk persepsi psikologis bahwa dirinya termasuk orang yang tidak bisa bekerja.
Konsep diri itu ternyata bukan sekadar persepsi kita atas diri sendiri. Karena di dalamnya ada juga unsur penilaian. Misalnya, saya cantik/tampan atau saya bodoh/pandai merupakan penilaian. Kita menilai diri sendiri berdasarkan pengalaman dan interaksi dengan orang lain. Pasangan persepsi dan penilaian terhadap diri sendiri ini penting untuk diperhatikan. Oleh karena kedua hal itulah yang akan mempengaruhi bagaimana kita mengalami kehidupan ini dan berinteraksi dengan orang lain. Lebih dari itu, penilaian akan terkait dengan standar penilaian yang dipergunakan. Barangkali kita membuat standar cantik/tampan itu berdasarkan apa yang kita lihat dalam sinetron di televisi sehingga kita kemudian mempersepsi diri kita tak cantik/tampan karena tak seperti mereka yang tampil dalam sinetron itu atau kita kemudian berusaha meniru dandanan dan potongan rambut, seperti artis sinetron itu agar kita bisa disebut sebagai cantik/tampan.
Sedangkan William D. Brooks (dalam Rakhmat, 1985:125) menyebut konsep diri sebagai “persepsi-persepsi fisik, sosial, dan psikologis atas diri kita sendiri yang bersumber dari pengalaman dan interaksi kita dengan orang lain”. Berdasarkan definisi dari Brooks tersebut, kita bisa menguraikannya sebagai berikut.
1. Persepsi fisik, yang berkaitan dengan bagaimana kita mempersepsi diri kita secara fisik. Apakah kita ini termasuk orang yang tampan/cantik, biasa-biasa saja atau jelek? Apakah badan kita terlihat gagah atau tidak menarik?
2. Persepsi sosial, yang berkaitan dengan bagaimana pandangan orang lain tentang diri kita. Apakah kita ini termasuk orang yang mudah bergaul, cenderung menyendiri, disukai orang lain atau orang yang ingin menang sendiri.
3. Persepsi psikologis, yang berkaitan dengan apa yang ada pada “dalam” diri kita. Apakah saya ini orang yang keras pendirian atau keras kepala? Apakah saya termasuk orang yang berbahagia karena apa saya bahagia?
4. Pengalaman, yang terkait dengan sejarah hidup kita. Sejak mulai kita dilahirkan hingga usia saat ini tentu mengalami berbagai hal yang berpengaruh pada diri kita. Misalnya, kita menjadi keras kepala karena sering diperlakukan sebagai anak yang berada pada pihak yang kalah.
5. Interaksi dengan orang lain, yang terkait bagaimana lingkungan pergaulan kita akhirnya membentuk persepsi kita atas diri sendiri. Apa yang dialami Sumadi di atas menunjukkan bagaimana interaksi dengan orang lain akhirnya membentuk persepsi psikologis bahwa dirinya termasuk orang yang tidak bisa bekerja.
Konsep diri itu ternyata bukan sekadar persepsi kita atas diri sendiri. Karena di dalamnya ada juga unsur penilaian. Misalnya, saya cantik/tampan atau saya bodoh/pandai merupakan penilaian. Kita menilai diri sendiri berdasarkan pengalaman dan interaksi dengan orang lain. Pasangan persepsi dan penilaian terhadap diri sendiri ini penting untuk diperhatikan. Oleh karena kedua hal itulah yang akan mempengaruhi bagaimana kita mengalami kehidupan ini dan berinteraksi dengan orang lain. Lebih dari itu, penilaian akan terkait dengan standar penilaian yang dipergunakan. Barangkali kita membuat standar cantik/tampan itu berdasarkan apa yang kita lihat dalam sinetron di televisi sehingga kita kemudian mempersepsi diri kita tak cantik/tampan karena tak seperti mereka yang tampil dalam sinetron itu atau kita kemudian berusaha meniru dandanan dan potongan rambut, seperti artis sinetron itu agar kita bisa disebut sebagai cantik/tampan.
Adanya persepsi diri bisa mengakibatkan aprehensi komunikasi. Aprehensi komunikasi merupakan kondisi kognitif seseorang yang mengetahui bahwa dirinya saat berkomunikasi dengan orang lain, karena kekhawatiran dan ketakutannya, tak memiliki pikiran apapun dalam benaknya dan juga tidak memahami sebab akibat sosial sehingga menjadi orang yang mati rasa. Ada juga yang menyebutkan bahwa aprehensi komunikasi itu terjadi manakala individu memandang pengalaman komunikasinya itu tidak menyenangkan dan merasa takut berkomunikasi.
Penyebab terjadinya aprehensi komunikasi ada tiga, yaitu:
- Aktivitas berlebihan. Hal ini untuk menunjukan bahwa secara psikologis kita terlalu aktif sebelum kegiatannya sendiri dilakukan. Misal remaja yang dipaksa untuk tampil sebagai orang tua dalam satu acara resmi maka telapak tangan berkeringat, jantung berdetak kencang dan perut pun mulas.
- Pemrosesan kognitif yang tidak tepat. Hal ini untuk menunjukan rasa tidak nyaman dalam menghadapi kegiatan komunikasi. Oleh karena itu, penyebab aprehensi komunikasi ini dipandang terkait bagaimana kita berpikir tentang komunikasi dan bagaimana proses komunikasi itu dipandang menakutkan. Misalnya kita akan bertemu dengan seorang dosen untuk meminta ujian susulan karena pada saat ujian kita sakit. Kita terlebih dulu memikirkan situasi menyeramkan yang akan berlangsung dalam komunikasi tersebut.
- Keterampilan komunikasi yang tidak memadai. Ini untuk menunjukan bahwa kita tidak tahu bagaimana berkomunikasi secara efektif. Kalau kita merasa tidak terampil berkomunikasi, maka dengan sendirinya kita pun akan memandang kegiatan komunikasi merupakan kegiatan yang menegangkan.
1 komentar:
Write komentarTerima kasih penjelasannya
ReplyEmoticonEmoticon