Sistem Siaran Televisi di Indonesia

Media penyiaran televisi sangat penting sebagai bagian dari sistem komunikasi tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negara lain karena beberapa alasan. Pertama, penetrasi media ini ke dalam kehidupan warga masyarakat sangat tinggi. Di beberapa negara, hampir seluruh kepala keluarga (household) sudah memiliki pesawat televisi sehingga praktis TV menjangkau hampir seluruh penduduk. Di Indonesia, TV menjangkau sekitar 80-90 persen penduduk Indonesia, sehingga penetrasinya pun ke dalam kehidupan warga masyarakat begitu kuat.

Kedua, sebagai sebuah media komunikasi massa, televisi memiliki pengaruh yang relatif lebih kuat jika dibandingkan dengan media massa lain. Ini karena karakter media televisi yang memanfaatkan semua unsur komunikasi sebagai basis produksi pesan sehingga apa yang ditampilkan melalui media televisi dianggap sebagai sebuah pesan yang benar-benar nyata, sehingga khalayak menjadi lebih mudah terpengaruh oleh media televisi. Media penyiaran televisi menjadi media yang paling punya dampak dalam kehidupan masyarakat baik dampak posistif maupun negatif. Melalui pesan audio-visual, pesan-pesan atau tayangan televisi sangat mudah untuk ditiru oleh khalayak, terutama kalangan anak-anak

Sistem Televisi Indonesia pada awalnya tidak ditata secara bersama melalui sebuah UU yang ditetapkan oleh badan legislatif sebagai lembaga yang merepresentasikan kepentingan masyarakat. Sistem penyiaran terutama televisi sejak awal kehadiran TV ditentukan oleh penguasa atau pemerintah baik melalui Keputusan Presiden atau bahkan pada masa Orde Baru hanya diatur oleh Menteri, yakni Menteri Penerangan. Dalam setting seperti itru, media penyiaran sepenuhnya dijadikan alat propaganda oleh pemerintah di samping mempunyai fungsi hakiki sebagai perekat rasa kebersamaan dan juga penjaga kesatuan dan persatuan, walau dalam berbagai kasus belum mampu sepenuhnya melakukan itu.

Monopoli penyiaran yang dilakukan oleh TVRI dari tahun 1962-1989 menunjukkan sebuah sistem penyiaran yang sepenuhnya diciptakan untuk membentuk keseragaman dan mencegah adanya pluralisme pandangan atau informasi. Bahkan ketika pihak swasta diijinkan untuk menyelenggarakan penyiaran, penyiaran swasta tidak lebih dari perluasan alat bagi rezim untuk mengendalikan masyarakat melalui lembaga komunikasi. Ini terjadi karena sistem politik yang menjadi konteks keberadaan penyiaran sejak Orde Baru berkuasa adalah sistem politik otoriter. Oleh karena itu, media sepenuhnya menjadi alat kekuasaan penguasa seperti halnya berlaku di negara-negara lain yang menggunakan sistem politik tertutup atau otoriter.

Perubahan rezim yang radikal melalui reformasi politik pada tahun 1998 menjadikan Indonesia sebagai negara demokratis yang sejak itu harus mengakomodasi kebebasan berkomunikasi. Sistem media dan sistem penyiaran mulai ditata secara bersama oleh kepentingan masyarakat melalui bentuk UU yang dibahas dan ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. UU Penyiaran memang sudah sempat dibuat oleh Pemerintah Otrde Baru pada tahun 1997 dengan No 24, tetapi UU ini praktis tak pernah diimplementasikan karena rezim penyangga dan pembuat UU ini untuk kepentingan dirinya sendiri tumbang pada refotmasi politik 1998.

UU No32 tahun 2002 tentang Penyiaran membentuk sistem penyiaran dengan menata hal-hal penting seperti keberadaan KPI untuk mencegah intervensi langsung pemerintah terhadap penyiaran, pengakuan terhadap empat jenis jasa penyiaran yakni Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Swasta, Lembaga Penyiaran Komunitas dan Lembaga Penyiaran Berlangganan. UU ini juga menata kembali Penyiaran swasta yang diarahkan untuk bersiaran secara lokal dan dapat membentuk stasiun jaringan agar dapat menjangkau sebagian wilayah Indonesia. Sistem pertelevisian Indonesia memang sedang dalam proses pembentukannya karena UU Penyiaran belum sepenuhnya diimplementasikan.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »