Demokrasi dan Civil Society

Dalam membahas sistem demokrasi di Indonesia, erat kaitannya dengan rezim orde lama dan orde baru. Dimana orde baru di bentuk menyusul tumbangnya rezim orde lama di bawah pimpinan Soekarno. Dalam perkembangannya selama 32 tahun, orde baru ternyata masih melakukan kesalahan-kesalahan yang sama bahkan terjadi kesalahan yang lebih besar dalam hal pencapaian demokrasi di banding rezim orde lama. Dalam permasalah ini, dapat kita lihat beberapa hal tentang demokrasi dalam rezim orde lama dan orde baru termasuk contoh-contoh kasus pada rezim-rezim ini.

a. Konsekuensi Orientasi Negara Kuat

Kekerasan politik yang berdimensi rasial bukanlah hal yang baru dalam sejarah politik Tanah Air maupun sesudah kemerdekaan. Kejadian yang dilaporkan secara luas, berkaitan dengan aksi kerusuhan sebelum, selama, dan sesudah rezim orde baru. Meskipun banyak pihak beranggapan hal itu tak akan muncul. Kekerasan politik berdimensi rasial itu seperti terjadinya pembunuhan serta pemerkosaan terhadap warga etnis Tionghoa dan seperti kita ketahui bahwa etnis ini sampai sekarang belum mendapat hak untuk menjadi anggota PNS. Pada zaman pemerintahan Gusdur, dapat kita lihat warga Tionghoa mendapat kebebasan dari sikap diskriminasi pada rezim orde baru.

Hal inilah yang membuktikan bahwa negara mempunyai landasan kuat dalam sistem kebebasan civil society.

Indonesia merupakan negara politik dimana civil society memiliki kultural yang beragam sehingga pencapaian demokrasi di Indonesia berjalan secara adil dan merata.


b. Pemilu : Alat legitimasi Penguasa

1. Fungsi –fungsi pemilu

Sebelum keruntuhan orde baru, RI telah menyaksikan jalannya pemilu sebanyak tujuh kali, yaitu 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dari ketujuh pemilu yang telah terlaksana, enam di antaranya dilaksanakan dibawah pemerintahan orde baru yang muncul setelah tumbangnya pemerintahan Soekarno pada tahun 1967. Para pakar maupun penagamat politik Indonesia sepakat bahwa pemilu yang pertama, yang di laksanakan pada 1955, adalah yang paling demokratis, selain paling bersih dan aman. Dengan kata lain, pemilu pertama itu telah menjadi semacam tipe ideal yang harus dipakai sebagai rujukan atau referensi utama bagi pelaksanaan pemilu berikutnya. Tetapi sangat disayangkan, sampai pada pemilu keenam dibawah orde baru keinginan tersebut belum tercapai.

Pemilu adalah sebuah mekanisme politik untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan warga negara. Setidaknya ada empat fungsi pemilu yang terpenting:

2. Legitimasi Politik

Melalui Pemilu, legitimasi pemerintah / penguasa dikukuhkan karena merupakan hasil pilihan warga negara yang memiliki kedaulatan.

Contohnya : Suara masyarakat berpengaruh dalam penentuan calon Presiden yang terpilih.

3. Terciptanya Perwakilan Politik

Melalui pemilu seleksi kepemimpinan dan perwakilan dapat dilakukan secara lebih fair karena keterlibatan warga negara. Praktek demokrasi moderen, yaitu melaui perwakilan dapat dilakukan sepenuhnya di sini.

Contohnya: pada saat calon pemimpin hendak mencalonkan diri, dia akan berpatok pada keinginan masyarakat dalam memilih calon wakilnya. Sehingga masyarakat yakin bahwa pasangan calon ini pantas untuk menjadi pemimpin.

4. Sirkulasi Elite Politik

Dengan pemilu akan terjadi pergantian elite kekuasaan secara adil karena warga negaralah yang langsung menentukan siapa yang masih dianggap memenuhi syarat sebagai elite dan siapa yang tidak. secara tidak langsung pemilu alat kontrol warga negara kepada penguasa apakah yang terakhir itu masih di percayai atau tidak.

Contohnya: seperti halnya yang terjadi sekarang ini, yang patut menilai SBY masih dapat memimpin negara ini selama tiga putaran adalah masyarakat. Tetapi yang kita lihat seorang anggota DPR seenaknya mengeluarkan statement.

5. Pendidikan Politik

Pemilu adalah sebuah alat untuk melakukan pendidikan politik bagi warga negara agar mereka memahami hak dan kewajibannya.

Contohnya: saat umur 17 tahun, kita sudah turut serta dalam pelaksanaan pemilu. Dalam hal ini kita sudah menggunakan hak kita sebagai warga negara dalam berpolitik. Tetapi dalam konteks kepemilikan KTP, umur 17 tahun kita sudah wajib memiliknya.


c. Perwakilan Dalam Sistem Politik Orde Baru

Empat Model Perwakilan

Dalam sebuah sistem demokrasi perwakilan moderen, dikenal adanya empat model perwakilan:

1. Perwalian

Para wakil memandang dirinya sebagai wali dari konstituen yang mempunyai independensi mutlak dan tidak berkait dengan kepentingan yang diwakilinya. Sebagai wali, mereka dapat melakukan proses pengambilan keputusan tanpa lebih dahulu mendapat kesepakatan dari yang diwakili, karenanya, tidak perlu merasa bertanggungjawab atas tindakan-tindakannya kepada sih terwakili.

Contohnya: paling nyata dalam model senator pada zaman Romawi. Mereka ini mewakili wilayah-wilayah yang dikuasai oleh kekaisaran dan selalu melakukan kegiatan atas nama rakyat (publik), tetapi tidak langsung mempertanggungjawabkan kiprah mereka kepada rakyat.

2. Wakil Rakyat

Para wakil adalah intrument untuk menyampaikan aspirasi para konstituen yang karena kondisi geografis dan demografis yang sangat besar tidak memungkinkan melakukan proses artikulasi kepentingan secara langsung. Untuk menentukan siapa yang menjadi wakil, dilakukanlah proses seleksi dan pemilu yang luber dan jurdil dan mereka lalu diberi mandat secara jelas untuk memperjuangkan kepentingan para konstituen melaui lembaga perwakilan.

Contohnya : Saat SBY berniat kembali untuk menjadi calon presiden kedua kalinya, ia benar-benar menyeleksi yang akan menjadi wakilnya dan akhirnya SBY memilih Boediono yang bukan berasal partai manapun.

3. Wakil Partai

Para wakil disini lebih merupakan instrumen partai. Partai memiliki otonomi yang sangat tinggi dalam menggariskan kepentingan-kepentingan apa yang harus diperjuangkan di lembaga perwakilan.  Dengan kata lain, kepentingan publik di reduksikan dalam kepentingan partai sehingga para wakil tidak boleh menyimpang dari ketentuan yang digariskannya.

Contohnya : Partai-partai yang berusaha dalam tiap orasi agar calonnya dapat terpilih, sehingga mendapat kursi di legislatif dan dapat mewujudnyatakan tujuan partai tersebut melalui anggotanya yang ada di DPR.

4. Wakil Pemerintah

Para wakil adalah perpanjangan tangan kepentingan pemerintah yang berkuasa. Hanya pemerintahlah yang tahu apa yang baik atau penting buat kehidupan mereka sendiri. Sehingga menjadi lebih mirip sebagai penonton belaka di dalam percaturan politik. Hal ini terjadi karena mereka tidak memiliki independensi vis –a – vis penguasa. Mereka tidak lebih hanya sebagai tukang stempel dari pemerintah.

Contohnya: Kuasa yang diberikan oleh presiden kepada para menteri dalam menjalankan tugas mereka masing-masing. Tetapi disekitar kita masih banyak kejadian-kejadian yang berjalan tidak sesuai yang diinginkan.

Seperti, kecelakaan KA di Indonesia sering terjadi, padahal menteri perhubungan berkali-kali mengalami pergantian.


d. Negara dan Kekerasan

Kekerasan Dalam Konseptualisasi Negara Modern

Dalam konseptualisasi mengenai negara modern, secara implisit ataupun eksplisit merupakan hal yang diakui di dalamnya. Hal ini dapat dilihat, misalnya, dalam konseptualisasi klasik Thomas Hobbes yang memandang negara sebagai suatu keniscayaan dalam sebuah polity agar kecenderungan manusia untuk berperang melawan sesamanya dalam rangka memenuhi kepentingannya dapat dikendalikan. Hal ini dapat kita lihat dalam kejadian beberapa hari lalu di Jakarta, antara dua kelompok yang saling membalaskan sakit hati demi kesetiakawanan sampai-sampai melakukan tindakan anarkis. Dalam kejadian tersebut, polisi saja tidak mampu turun tangan dalam penyelesaian masalah, sehingga sampai ada jatuhnya korban. J. J Rousseau, yang dikenal sangat kritis terhadap keberadaan negara, juga memberikan peran cukup besar terhadap negara untuk melakukan fungsi kontrol yang ditujukan untuk melindungi kebebasan, kesejahteraan, dan hak milik para warga masyarakat. Secara implisit, Rousseau menganggap bahwa negara memiliki hak eksklusif untuk memaksa sebagian dari kelompok masyarakat untuk menyerahkan hak-haknya demi kepentingan umum.

Contohnya : dalam masyarakat dapat terjadi dimana, negara mengambil hak kita untuk memenuhi kepentingan umum. Seperti halnya kita mempunyai hak untuk menerima gaji, tetapi demi kepentingan bersama kita wajib membayar pajak.


e. Anatomi Kerusuhan Sosial

Kerusuhan Sosial : Produk Proses Dialektis

Dalam membahas hal ini, dapat diangkat sebuah ilustrasi mengenai pemicu kerusuhan-kerusuhan yang terjadi. Misalnya, kerusuhan yang berdimensi agama. Hal ini dapat kita lihat pada peristiwa kerusuhan di Ambon pada tahun 1999 lalu yang di picu oleh faktor agama.


f. Krisis Ekonomi: Pemicu Runtuhnya Sistem Politik Orde Baru

Krisis Ekonomi dan Runtuhnya Rezim Orde Baru

Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis moneter tahun 1997. Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis keuangan yang melanda Asia. KKN semakin merajalela, sementara kemiskinan rakyat terus meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat mencolok menyebabkan munculnya kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total. Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998. Pada saat itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu meninggalnya empat mahasiswa Universitas Trisakti akibat bentrok dengan aparat keamanan. Empat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hery Hariyanto, Hendriawan, dan Hafidhin Royan. Keempat mahasiswa yang gugur tersebut kemudian diberi gelar sebagai “Pahlawan Reformasi”. Menanggapi aksi reformasi tersebut, Presiden Soeharto berjanji akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi. Selain itu juga akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi. Dalam perkembangannya, Komite Reformasi belum bisa terbentuk karena 14 menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi. 


(Hikam, Muhammad,AD.1996 – LP3ES, Jakarta)

Artikel Terkait

Previous
Next Post »