Agama dan Multikultural


Konsep agama tentu harus diakui sebagai ujung tombak perbaikan sistem sosial (kulltur). Agama mengajarkan kebaikan, saling memahami, menghormati, menghargai dan harmonis. Hubungan dengan demokrasi tentu sangat erat kaitannya ketika kita membahas wacana demokrasi dan realitas masyarakat multikultural.
Menurut Sri Lee Kim Yew (kompas 24/11/2012) mengatakan bahwa semua agama mengajarakan kebaikan. Agama itu perlu terus di kampanyekan dalam ruang kehidupan masyarakat melalui pendidikan yang benar. Karena dengan agamalah makna lain demokrasi akan tercapai sebagaimana harapan. Untuk membangun hubungan antar agama harus melalui dialog, diskusi, dan penciptaan kondisi harmonis sehingga pengembangan gaya hidup multikultural merupakan syarat utama dalam sebuah negara damai dan harmonis.
Pendapat lain, Din Syamsuddin (2012) mengatakan bahwa tentu agama yang benar menekankan pada penghargaan atas keberagaman sebagai hukum alam yang harus diterima ditengah pergulatan realitas perbedaan. Maka karena itu, sangat perlu pengembangan demokrasi multikultural dalam dimensi kemanusiaan.
Bagaimanapun demokrasi multikultural adalah produk bangsa Indonesia yang harus dijaga kelestariaannya ditengah keberagaman masyarakat sehingga terciptanya kerukunan yang saling mengisi dalam pembangunan bangsa ini. Jika kita bandingkan dengan Eropa dari dulu hingga sekarang ini, bahwa Eropa tidak memiliki sejarah pluralismenya. Struktur sosial kemasyarakatan cenderung di dominasi oleh kalangan menengah ke atas yang belatarbelakang ras satu sehingga Eropa di kenal dengan "No Rasion". Begitu juga ditimur tengah saat ini yang sedang menumbuhkan demokrasi di situasi serba sulit karena dominannya "religion rasism" (rasisme agama).
Faktor pendukung demokrasi multikultural adalah membangun kekuatan baru dengan kesamaan visi baik secara ideologi politik, agama, ekonomi maupun budaya sehingga demokrasi dan agama dalam proses perbedaan tersebut dapat saling mengisi satu sama lain atas spirit bersama membangun perdamaian dunia. Susilo Bambang Yudoyono (2012) mengatakan bahwa keberadaan demokrasi dan agama merupakan hasil reflektif perjalanan suatu bangsa. Kemudian bangsa tersebut harus siap menerima segala bentuk perbedaan, termasuk perbedaan budaya. Berbeda dengan demokrasi di negara homogen, dimana Indonesia akhir 1990-an memulai reformasi dan demokratisasi yang kini masih berupaya mematang demokrasi dengan segala aspek ekonomi, sosial, agama dan politik.
Demokrasi dan agama di Indonesia sudah bergerak maju ke arah yang lebih baik dan selalu berkelindan sepanjang masa untuk memperbaiki segala perkembangan sosialitas masyarakat. Walaupun disisi lainnya, demokrasi Indonesia mengalami pasang surut. Prinsip demokrasi harus berupaya terus dikembangkan seiring pembentukan nilai-nilai moral dalam struktur kekuasaan maupun masyarakat agar kualitas demokrasi dapat terjaga dengan baik. Problem lain demokrasi kita adalah soal multi partai, pilkada langsung yang belum matang, kesiapan masyarakat dalam memainkan peran demokrasi multikultural tersebut masih lemah. Dengan demikian, tantangan tersebut harus secara terus menerus diperbaiki melalui imajinasi dalam lingkup damai, harmonis dan etos kerja yang benar.


Artikel Terkait

Previous
Next Post »