Fenomena menarik dari demokrasi multikultural adalah terjadinya koeksistensi, dimana tingkat kesulitan demokrasi bertambah banyak karena Indonesia pasca reformasi menganut sistem multipartai sehingga proses politik dan perjalanan panjang model birokrasi tak terhindarkan. Memaksimalkan demokrasi multikultural harus memasang telinga pada dua tempat perbedaan yakni kaum mayoritas dan minoritas. Keduanya ini harus diasosiasikan atau berada dalam jaringan aspirasi politik yang dikombinasikan melalui pemahaman tentang penting multikultural secara menyeluruh. Karena apapun namanya, bahwa kemajemukan itu tidak akan bisa dihindari sampai kapan pun. Negara-negara demokrasi multikultural harus menggali dan melaksanakan hidup rukun, aman berdampingan, harmonis, damai dan toleran serta koeksistensi.
Apalagi demokrasi multikultural Indonesia dipengaruhi oleh tatanan ekonomi global dan jaringan komunikasi informasi. Dimana masyarakat Indonesia dituntut untuk mampu melawan arus besar ini yang senantiasa membawa dampak negatif dengan merasuki dan membawa sistem masyarakat pada materialisme hedonisme.
Selain itu juga menurut Azyumardi Azzahra (2012) mengungkapkan realitas fundamentalisme dan ekstrimisme dalam khasanah demokrasi maupun aliran keagamaan yang mempengaruhi tatanan kelas menengah. Sehingga sebagian kelas menengah agama mengalami disorientasi dan kesadaran keIndonesiaan seolah hilang dalam pikiran generasi beragama tersebut.
Dengan demikian, kondisi ini tentu harus diperbaiki oleh seluruh kalangan baik itu Muhammadiyah, NU, intelektual, pastur, patikan, kiyai, tuan guru, ulama, akademisi, ustad dan melibatkan struktur besar masyarakat. Maka karena itu, koeksistensi sangat perlu diantara berbagai kalangan diatas. Sehingga tujuan yang ingin dicapai dalam peradaban dunia yang damai dapat terwujud.
EmoticonEmoticon