Membentuk wawasan demokrasi dan tatanan kebangsaan Indonesia ditengah perkembangan dunia tanpa batas, utamanya soal kemajuan faktor teknologi informasi dan komunikasi. Apalagi kebutuhan bangsa ini pada sisi batas negara dan ras kebangsaan yang jelas. Tanpa identitas tersebut, boleh jadi nilai demokrasi multikultural dan kekuatan kebangsaan akan hilang dalam perjalanan waktu.
Multiculture Visit To Democracy Of Indonesia merupakan rangkaian refleksi sejarah, untaian suara rakyat sebagai alur aspirasi politik, tradisi serta potensi sumber daya alam yang memikat dan terpancar dalam prilaku demokrasi bangsa Indonesia. Kebersamaan yang sungguh-sungguh dalam membangun negara demokrasi multikultural.
Membenahi institusi politik dan demokrasi merupakan tugas yang sangat penting saat ini. Seluruh rakyat dan pemerintahan harus mendedikasikan secara penuh untuk memperbaiki demokrasi dan keharmonisan dalam keberagaman. Maka oleh karena itu, setiap warga negara yang peduli dengan masa depan bangsa, maka wajib memikirkan keberlangsungan demokrasi persfektif multikultural ini. Kunci kemajuan suatu bangsa adalah ditentukan oleh keberhasilan mendidik asas multikultural sebagai maenstream peradaban damai. Keberhasilan itupun tolak ukurnya tentu didasarkan pada perkembangan politik, ekonomi, sosial dan hukum.
Demokrasi multikultural akan berjalan efektif apabila keragaman yang berkemajuan itu sebagai pemaknaan dari aturan main (etika) dari struktur masyarakat. Karakter vital demokrasi multikultural ini adanya keterbukaan dan melibatkan institusi agama, ormas, tokoh dan lainnya dalam pengambilan keputusan. Institusi ormas yang mendukung demokrasi multikultural adalah institusi yang pro-kemajuan dengan menjadikan demokrasi substantif, transendental, dan bukan hanya prosedural.
Meski demikian, untuk memastikan kemajuan bangsa juga membutuhkan peran civil community, dimana civil community ini sebagai bagian dari pendidikan caracter building dan pembentukan generasi clean goverment, seperti Muhammadiyah dengan kekuatan lembaga pendidikan (amal usaha)-nya.
Menurut Mitsuo Nakamura seorang antropolog dan peneliti Islam Universitas Chiba Jepang (2012), mengatakan Muhammadiyah telah mendorong gagasan keagamaan yang kuat dan bersifat moderat. Kendati dorongan itu masih menyisakan tantangan berat dan rumit. Haris Azhar (2012) dalam sebuah diskusi mengungkapkan bahwa konflik sosial terus berulang dengan pola dan model kekerasan yang identik rasis. Kasus-kasus serangan terhadap minoritas dan tawuran institusi pendidikan merupakan ketegangan komunal sepanjang tahun 2012 ini. Berbagai pihak yang teridentifikasi terlibat dalam konflik tersebut yakni antar kampung, dusun dan kelurahan atau desa yang masuk dalama wilayah territorial. Tercerabutnya modal multikultural ini yang kemudian menjadi konflik adalah soal identitas, sosial dan budaya yang rentan dengan kepentingan politik seperti pemilukada maupun konflik sampang madura antara syiah sunni. Dengan demikian, kesadaran multikulral itu perlu dipupuk agar subur sehingga tidak terjadi konflik rasis yang justru menghabiskan energi.
Sekali lagi mengutip apa yang disampaikan oleh Din Syamsuddin ketika membuka WPF itu dibogor (2012) mengatakan aksi-aksi kekerasan yang terjadi dan meletup di Indonesia maupun dibanyak negara lainnya dipicu oleh gesekan rasialis dengan latarbelakang etnik, agama, suku, dan kelompok, padahal sebagian negara telah menempatkan sistem demokrasi. Bagi bangsa Indonesia sistem demokrasi telah diterima sebagai mekanisme politik bernegara. Sistem ini menempatkan kedaulatan rakyat sebagai kekuatan utama, dalam masyarakat yang majemuk tentu demokrasi sangat perlu semangat multikultural.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang akan menjadi laboratorium besar bagi proses demokratisasi dalam masyarakat multikultural. Tak mudah untuk menjalankan proses itu, karena memiliki letak geografis yang sangat luas.
EmoticonEmoticon